TAK AKAN PERNAH CUKUP TANAH UNTUK KAPITALISME

Di Polombangkeng, Kabupaten Takalar, 6000 hektar tanah petani di 12 desa dirampas PT Perkebunan Nusantara PTPN XIV, perusahaan negara yang mengolah tebu menjadi gula. Tak ada rasa manis bagi petani, semenjak lahan mereka dikuasai PTPN XIV dari tahun 1982 hingga hari ini. Demi ekspor dan swasembada gula, dan atas nama pembangunan serta stabilitas pangan, negara mengorbankan lebih dari 3000 jiwa.

Saat itu, pemerintah memakai sistem paksa untuk mengambil tanah warga, disertai intimidasi dan ancaman bagi yang tidak mau. Kekerasan dan represifitas negara membekas di ingatan sebagian warga –saksi sejarah sekaligus korban dari masa Orde Baru Soeharto hingga Orde Baru SBY. Tanah sebagai sumber penghidupan bagi kaum tani tersebut, dijadikan Hak Guna Usaha (HGU) PTPN XIV hingga tahun 2004. Namun status HGU selama 25 tahun masa kelola PTPN XIV seolah-olah tanpa batas. Saat petani menuntut pengembalian lahan mereka di tahun 2004, mereka diabaikan sama sekali.

Tiga tahun hal ini terus berlalu, pemerintahan terus berganti dan ‘reformasi’ terus menjadi jualan para politisi, tapi sungguh tak ada yang berubah di lahan tebu itu. Masa penantian tak lagi terbendung, semenjak sejumlah upaya politik dan aksi tuntutan kepada aparat negara tak juga membuahkan hasil, warga akhirnya memilih untuk melakukan sebuah aksi langsung mengambil alih lahan dan mengembalikan kehidupan mereka sediakala sebelum kehadiran PTPN XIV. Padi, jagung, dan wijen adalah manis yang bisa dirasakan dalam setahun ini setelah mereka berhasil merebut kembali kepunyaannya.

Dan inilah yang menjadi keyakinan dan tekad untuk terus mempertahankan tanahnya, serta tak tersisa alasan untuk melanjutkan keberadaan perusahaan di tempat mereka. Saat ini, perjuangan itu masih berlangsung. Setiap hari, tanpa lelah warga dari 12 penjuru desa di 2 kecamatan Polombangkeng Utara dan Selatan bersama-sama berjuang mengembalikan tanah mereka. Tanpa perlu komando menyatu dalam sebuah harapan yang sama mempertahankan tanah, sumber kehidupan bagi anak cucu kemudian hari, walaupun harus menghadapi intimidasi, teror, ancaman, bahkan penangkapan oleh aparat.

Adalah ironis dan tak beralasan jika berfikir diri kita tak terkait dengan kejadian ini, tak berhubungan dengan penderitaan para petani. Semenjak hampir seluruh dari kita adalah bagian masyarakat yang dieksploitasi dalam sistem ekonomi kapitalisme, maka sejak saat itu pula kita adalah bagian yang sama dengan para petani.

Tanah mereka dirampas untuk menghasilkan gula demi target ekspor dan statistik ekonomi (baca : prestasi pemda). Pemerintah memprogramkan swasembada gula. Ini artinya, harus semakin banyak gula dihasilkan untuk dijual ke luar negeridan harus semakin bertambah luas lahan yang dibutuhkan atau semakin lama lahan tersebut digarap. Dan itu pula berarti, tak ada niat untuk mengembalikan tanah petani.

Tapi pemenuhan pangan dan swasembada adalah omongkosong besar, jika kita melihat fakta bahwa gula produksi lokal justru diekspor ke luar, dan gula yang kita konsumsi justru didatangkan dari luar negeri (impor dari Taiwan dan Australia). Persoalannya sederhana, dalam ekonomi kapitalisme, semakin banyak pertukaran (dari dan ke luar/dalam negeri), semakin banyak pula keuntungan yang bisa dihasilkan. Dan sudah barang tentu, yang diuntungkan dari proses ini adalah para kapitalis, baik swasta maupun negara.

Kita berada dalam posisi yang sama dengan petani. Petani dirampas tanahnya, untuk mendukung tata dagang yang menguntungkan kapitalis. Sementara kita dikontrol dan dijebak untuk berada dalam kondisi ekonomi pas-pasan, dan lalu bekerja agar bisa bertahan hidup, sekaligus berperan sebagai konsumen untuk ters mengkonsumsi komoditi-komoditi yang tata dagangnya diatur oleh negara dan semakin menguntungkan kapitalis.

Semakin patuh kita pada kekuasaan, semakin gelap mata kita untuk terus mengkonsumsi, semakin pudar solidaritas kelas kita, maka semakin langgeng cara mereka menghasilkan keuntungan, semakin tereksploitasi para buruh di pabrik, petani di desa, dan kaum miskin lainnya di seluruh muka dunia. Dan akhirnya kita terus berfikir bahwa tak ada kaitannya kita dengan mereka, di Takalar, di Vietnam, Thailand, Afrika, Amerika –seluruh kelas tereksploitasi oleh kelas majikan.

Bagi kapitalisme, semenjak orientasinya menghasilkan semakin banyak keuntungan, takkan pernah ada tanah yang cukup, juga tenaga pekerja yang dieksploitasi, manusia-manusia yang dimiskinkan, konsumen yang akan terus mengkonsumsi, tatanan sosial yang dirobek-robek.

Solidaritas kami terhadap petani Polombangkeng, Takalar adalah solidaritas sesama manusia yang dieksploitasi hidup dan tenaganya, mimpi dan hari esoknya, untuk melanggengkan kapitalisme dan dominasi negara.


JARINGANLIBERTARIAN

(Flyer pada Aksi Solidaritas Untuk Petani Takalar, 22 Juli 2009 depan Kantor PTPN XIV, Makassar)

1 komentar:

Posting Komentar