Kamis, 17 Desember Untuk kesekian kalinya, PTPN XIV disokong 18 personil Brimob bersenjata lengkap, merusak tanaman warga yang berada dalam beberapa titik areal sengketa. Tanaman yang menjadi sumber penghidupan warga tersebut berupa padi, jagung dan beberapa jenis lainnya dirusak menggunakan bulldozer dan traktor. Perusakan tersebut dibawah pengawalan ketat aparat bersenjata. Warga tak bisa berbuat banyak, karena sebagian besar ikut memberikan solidaritas pada beberapa orang petani yang dikriminalisasi oleh polisi terkait aksi penentangan terhadap PTPN.
Memasuki musim hujan, warga memulai musim tanam untuk bisa memanennya beberapa bulan ke depan. Namun tiba-tiba keluar larangan untuk melakukan aktivitas bercocok tanam di wilayah yang kini diklaim PTPN XIV. Larangan tersebut dimaksudkan sebagai pelaksanaan kesepakatan dalam pertemuan dengan unsur Muspida beberapa waktu lalu, hingga penyelesaian kasus ini. Anehnya, PTPN XIV sendiri tak sedikitpun menghentikan aktivitasnya.
Petani Polongbangkeng, Takalar masih terus berjuang melawan penindasan dan represi untuk memperlemah kekuatan mereka. Disaat memasuki musim hujan yang juga berarti dimulainya musim tanam, pihak PTPN XIV justru melarang petani menanam di lahan yang diklaim sebagai area sengketa. Pelarangan ini diperkuat dengan menerjunkan pasukan Brimob untuk berjaga-jaga di seluruh areal untuk mengusir warga yang menanami tanah mereka.
PTPN XIV beralasan bahwa pelarangan tersebut adalah hasil kesekapatan dalam pertemuan dengan berbagai pihak seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pemerintah Daerah Takalar, LSM dan unsur lainnya beberapa waktu lalu, yakni sambil menunggu proses hukum berlangsung untuk menentukan status hukum tanah yang disengketakan. Anehnya, PTPN XIV justru tanpa jeda terus mengolah tanah-tanah warga yang selama ini dipersoalkan. Pengolahan bahkan telah sampai mendekati wilayah permukiman warga, dan jelas tak pernah dipersoalkan oleh kepolisian.
Pelarangan ini tentu saja diprotes oleh petani. Kini, dengan kekuatan tersisa petani masih mempertahankan tanahnya, dan memaksa untuk terus bercocok tanam. Masih terjadi konflik-konflik kecil antara beberapa orang warga dengan polisi di lapangan. Berdasarkan kenyataan bahwa bertani adalah tumpuan penghidupan petani, pelarangan ini memperjelas kekejaman korporasi dan aparat negara yang selalu beroposisi dengan kepentingan petani dan masyarakat lainnya.
Solfest adalah kampanye publik untuk menggalang dukungan dan solidaritas terhadap petani Takalar yang dirampas tanahnya. Seperti yang kita tahu bersama, tanah adalah kehidupan bagi petani. Tanpa tanah, tidak ada kehidupan bagi petani. Merampas tanah petani sama halnya dengan membunuh petani.
Siapa yang merampas tanah petani?
Tanah petani Takalar dirampas oleh PTPN XIV, sebuah perusahaan agribisnis milik negara.
Tapi, apa yang sesungguhnya terjadi?
Tahun 1980, sebuah proyek perkebunan tebu dimulai. Proyek tersebut butuh lahan yang ditempati warga sejak tahun 1960. Masyarakat menolak karena mereka hanya lahan tersebut mereka bergantung hidup. Kamu tahu kan, Maka pembebasan lahan dilakukan secara paksa dan sepihak dengan janji akan dikembalikan setelah 25 tahun.
Sebentar…. dimana sih Polongbangkeng itu? Baru dengar soalnya … J
Polongbangkeng itu di Kabupaten Takalar, sekitar 50 km dari Makassar. Disitulah terletak Pabrik Gula Takalar, salah satu pabrik milik PTPN XIV yang
Apa betul tanah petani dirampas? Karena yang saya tahu dari koran dan televisi, tanah itu kan milik negara? Bukan petani …
Itu keliru! Petani mendiami tanah mereka sejak tahun 1960an. Sebelum ada jalanan dibuat oleh negara, warga telah mengolah lahan menjadi gantungan hidup sehari-hari dengan menanaminya palawija, jagung dan lain-lain. Berdasarkan UU Agraria tanah yang digarap oleh rakyat dalam rentang waktu 25 tahun berturut-turut sudah menjadi hak rakyat. Jika memang bukan tanah warga, mengapa ada proses pembebasan lahan? Lagi pula prosesnya penuh manipulasi dan intimidasi.
Bayangkan sosialisasi proyek ini dilakukan hanya di masjid, tahun 1980. Sosialisasinya hanya dihadiri oleh beberapa orang saja. Selanjutnya proses-proses pemaksaan juga terjadi. Banyak warga yang menolak proyek tersebut dipanggil paksa ke kantor tentara. Ada yang diikat lalu diseret. Ada yang dipukuli. Juga ada yang terbunuh, tewas tergantung. Kasus ini tidak pernah diusut hingga sekarang
Astaga!! Seperti itukah kejadiannya?
Ya. Tragis kan?
Berapa luas lahan warga yang dikuasai PTPN XIV?
Sekitar 6500 ha. Dulunya kebun dan sawah. Setiap petak ditandai parit, pohon, pagar dan tanda-tanda lain. Namun setelah diratakan oleh perusahaan, batas atau tanda-tanda tanah hilang.
Apakah ada bukti-bukti tertulis?
Sampai sekarang hampir seluruh warga masih menyimpan amplop berwarna coklat, bekas pembayaran ganti rugi pembebasan. Dalam dokumen tersebut dinyatakan tanah akan dikembalikan 25 tahun berikutnya (tahun 2005), setelah Hak Guna Usaha berakhir. Tapi setelah 25 tahun, HGU tak kunjung selesai. Tanah tak kunjung dikembalikan.
Mengapa tanah tidak dikembalikan setelah HGU selesai?
Itu dia masalahnya. Bupati Takalar langsung saja memperpanjang secara sepihak. SK tentang perpanjangan HGU ditandatangani tanpa meminta persetujuan dari pemilik lahan, para petani. Ini mengulang kejadian saat pertama kali proyek dimulai.
Pemerintah didorong ambisi untuk mendapatkan prestasi swasembada gula. Tetapi dengan cara mengorbankan petani-petani.
Mengapa kita mesti memberi dukungan? Aku tak merasa terkait dengan kejadian ini…
Coba bayangkan, kamu kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupmu, kamu menuntut dikembalikan. Tapi yang kamu dapat, kamu malah dipukuli, ditembaki, ditangkapi. Lalu semua orang berkata, “Aku merasa tak ada hubungannya dengan masalahmu!”.
Tapi, soal petani Takalar ini, kamu bisa saja bilang tidak ada hubungan secara langsung. Tapi tahukah kamu, jika setiap sendok gula dalam teh atau kopimu, atau kue, masakan, dan makanan lainnya yang kamu makan, terdapat keringat dan penderitaan para petani selama hampir 30 tahun?
Para petani melakukan hal yang semestinya dilakukan oleh setiap manusia, membela dan menuntut kehidupannya kembali. Kita, yang sekalipun merasa tidak terkait dengan hal ini, mesti melakukan sesuatu selayaknya sebagai sesama manusia. Bersolidaritas dan mendukung mereka yang menuntut haknya.
Oh.. gitu ya? Lalu sebaiknya seperti apa?
Mari berhenti berfikir bahwa apa yang orang lain alami terlepas dari kita. Apapun yang terjadi di muka bumi ini ada kaitannya dengan kita. “Kamu bisa lari tapi kamu tidak bisa sembunyi”. Setiap hal yang kita konsumsi ada penderitaan orang lain yang dipaksa bekerja untuk membuatnya. Begitulah sistem ekonomi dan sosial yang berlaku ini : kapitalisme!
Dukungan apa yang diharapkan dari kami?
Kami tidak memberikan “instruksi” apa yang kamu sebaiknya harus lakukan. Tapi paling tidak ada sedikit gambaran tentang apa yang harus kamu lakukan:
Mulailah berfikir dan memahami dunia sekelilingmu. Ambil peranmu, maksimalkan potensimu, dan jangan pernah mengatakan kamu tidak bisa apa-apa, atau seba-liknya, kamu telah melakukan sesuatu. Jangan pernah!
Penangkapan dan represi masih berlangsung di Polongbangkeng, Takalar. Kami menerima kabar satu orang lagi ditangkapi polisi. Dg Salli dari Kampung Beru ditangkap pada Rabu, 28 Oktober 2009.
Dg. Salli ditangkap dengan tuduhan merusak lahan PTPN XIV. Ini adalah aksi langsung yang dikembangkan warga diluar dari model-model kompromi dan dialog yang terbukti tidak pernah memenangkan warga. Dengan demikian total warga yang ditangkap polisi mencapai 8 orang.
Dini hari jam 4 subuh, 28 Oktober, dua warga Polongbangekeng, ditangkap aparat polsek Takalar. Mereka adalah Dg Sanri dan Dg Ngangi dari Desa Towata. Pengejaran dilakukan dini hari dengan alasan yang tidak jelas. Mereka dikejar sehingga terpaksa bersembunyi di areal persawahan. Warga mengabarkan polisi terus mencari warga lainnya untuk dijadikan tersangka.
Terkait kebrutalan polisi terhadap petani di Takalar pada 25 Oktober kemarin, dua demonstrasi digelar di Makassar. Aksi pertama diusung oleh belasan aktivis Malcom, dengan membawa spanduk raksasa berisi statement dukungan kepada petani Polongbangkeng, dan kecaman pada aparat polisi. Aksi yang diadakan di depan kampus STMIK Dipanegara pada 26 Oktober 2009 tersebut berjalan lancar, disertai dengan pembagian selebaran dan orasi dari para demonstran. Sementara aksi kedua digelar oleh 50-an mahasiswa Unhas, di depan Kantor Kepolisian Daerah Sulselbar.
Polisi kembali menembaki warga Polongbangkeng, Kabupaten Takalar. Ini adalah ketiga kalinya sejak kasus perampasan tanah oleh PTPN XIV ini muncul ke permukaan akhir 2008 lalu.
Hari Minggu, 25 Oktober 2009, warga mendengar kabar adanya aktifitas pengolahan lahan yang dilakukan oleh pihak PTPN XIV. Sekitar jam 4 sore, 10 (sepuluh) orang warga mendatangi lokasi di Blok K Desa Barugayya, Kecamatan Polongbangkeng Utara, Takalar. Namun belum sampai di lokasi, aparat yang mengawal pihak PTPN, menghadang warga. Mereka mengusir dan memerintahkan untuk kembali ke rumah masing-masing jika ingin aman. Tidak menerima hal tersebut, terjadilah adu mulut tentang latar belakang pengolahan dan kasus ini sebelumnya. Kemudian ada 4 (empat) orang dari satuan Brimob dan satu orang intelijen Kodim, yang terus mendesak warga untuk pergi dari lokasi.
Karena terdesak dan waktu telah menunjukkan pukul 6 petang, warga terpaksa meninggalkan tempat tersebut. Kepulangan warga ternyata disusul oleh 1 (satu) mobil Brimob. Dalam perjalanan pulang, saat warga masih berjarak sekitar 1 km dari lokasi pengolahan, mobil aparat mendekati rombongan warga dan bergerak melambat. Saat itulah aparat yang ada di atas mobil langsung melompat turun dan menembak secara membabi buta ke arah warga.
Peluru Tajam
Terjadi kepanikan luar biasa, karena warga tidak menyangka akan mendapat tembakan dari polisi. Menurut pengakuan warga, polisi menggunakan peluru tajam saat kejadian tersebut. Ini membuat warga terpencar untuk menyelamatkan diri dari kejaran polisi. Namun, Basse Dg Gassing (50 tahun) dan Bandu Dg Gissing (70 tahun) yang telah berusia lanjut akhirnya tidak bisa menghindari pengejaran di bawah rentetan tembakan. Dg Gassing dan Dg Gissing pun ditangkapi dan langsung dibawa ke kantor polisi.
Tidak cukup satu jam berselang, polisi kemudian bergerak masuk ke arah perkampungan warga di Kampung Ko’mara dengan menembak secara acak. Dari arah belakang rumah warga, polisi terus melakukan intimidasi dengan menembakkan gas airmata. Hal tersebut terus berlangsung hingga jam sepuluh malam.
Sejarah Panjang Tiga Dekade
Penghadangan warga atas aktifitas PTPN XIV yang kemudian direspon aparat dengan penembakan membabi buta, adalah kelanjutan dari perjuangan warga selama hampir tiga dekade. Sejak tahun 1980, tanah mereka diambil negara untuk dijadikan perkebunan tebu. Prosesnya berlangsung penuh tekanan, manipulasi dan represi aparat negara. Tahun 1999, seiring melemahnya rezim otoritarian Orde Baru, tanpa dikomando dan keterlibatan pihak luar, petani kembali bangkit dan berjuang mengembalikan tanah mereka yang dirampas. Mereka melakukan pendudukan dan aksi langsung (reclaiming), sebagai protes dan manifestasi perjuangan.
Meski belakangan diperlemah dengan upaya-upaya diplomasi serta represi negara, warga terus bertahan. Salah satunya dengan melakukan penghadangan serta sabotase atas aktifitas PTPN XIV yang mengancam kehidupan warga. Ini adalah bentuk swa-aktifitas warga Polongbangkeng Takalar yang berkembang secara mandiri.