[Reportase Aksi] Menyumpahi Pemuda bersama “Gerbang Revolusi”


28 Oktober 2009, Tol Reformasi - Kantor Gubernur Sulsel

Aksi Gerbang Revolusi (Gerakan Rakyat Bersatu Anti Neo-Liberal dan Globalisasi untuk Revolusi) ini dalam rangka memperingati momen Sumpah Pemuda 28 Oktober. Sebagian besar masyarakat dan juga para aktivis memang masih menganggap bahwa momen tersebut memberi arti penting dalam perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme. Akan tetapi hal terpenting hari ini adalah kembali melakukan apa yang seringkali enggan ditempuh oleh para aktivis, meredefinisinya untuk mengkontekskan dengan hari ini.

Aksi ini memuat hal tersebut. Keengganan untuk meninjau kembali apa yang sebenarnya telah usang.

***

Jam sembilan telah lewat banyak. Matahari di perempatan tol mulai memanas. Satu-satunya kegunaan jalan layang -tempat yang dipilih menjadi titik kumpul, yang baru saja dibangun itu adalah menyediakan naungan dari panasnya deru kota dan terik mentari. Tidak lebih. Kecuali para seniman jalanan terpanggil menunaikan tugas suci dan mulianya (oh yeah) di tembok-tembok beton yang angkuh itu.

Tetapi barisan front aksi yang dilabeli "Gerbang Revolusi" ini belum lengkap. Formasinya masih bolong-bolong. Beberapa organ dan kelompok belum datang, Koordinator Aksi belum tiba di titik kumpul. Sementara itu, ada barisan aksi lain di seberang nampak lebih semarak, Aliansi Parlemen Jalanan. Luar biasa, sebelumnya mereka yang bergabung di aliansi tersebut

Seorang peserta aksi Gerbang Revolusi, entah berasal dari mana ia, nampak bingung. Ia kemudian menyarankan untuk penggabungan dua barisan aksi, agar terwujud "persatuan gerakan" di Makassar. Ck ck ck...

Kita bisa melihat, kebanyakan aktivis memang mengidap mental disorder. Merasa tidak percaya diri dengan jumlah minimal, merasa tidak kuat dengan apa yang dimilikinya. Merasa lebih puas dengan gerombolan massa yang tak sekalipun diperiksa, sejauh mana orang-orang itu mendukung aktif tujuan-tujuan aksi dan aktifitas yang dibangunnya.

Mitos-mitos persatuan selalu menjadi penghancur pandangan obyektif seseorang tentang bagaimana mesti bertindak dan bergerak. Akan sangat berbeda, dan pastinya sangat menarik, bila mereka memahami skema rizomatik untuk dipraktekkan di gerakan lokal.

Satu persatu kelompok dan organisasi hadir. Kebanyakan adalah pengurus eksekutif lembaga mahasiswa, yang memobilisasi mahasiswa-mahasiswa baru sebagai massa aksi mereka. Terlepas dari kesemrawutan pengorganisiran aksi di tiap-tiap kelompok, metode mobilisasi tersebut nampak tidak pernah berubah dalam beberapa tahun terakhir. Kamu bisa membayangkan, gerakan apa yang dibangun hari ini, saat para pejabat teras BEM memobilisasi massa mahasiswa baru dengan kayu di tangan di depan kelas?

* * *

Kawan-kawan dari Jaringan Libertarian juga telah berkumpul lengkap. Sesuai kesepakatan semalam, bendera hanya dibawa satu. Tidak lebih. Itupun sekedar menjadi tanda tempat dimana kami bisa berkumpul. Diikatlah bendera hitam berbintang merah-hitam itu pada sebatang kayu yang dipungut di lokasi.

Orasi pelengkap telah dikumandangkan, aba-aba bersiap telah meluncur. Seluruh peserta aksi telah bersiap dengan langkah kakinya.

Sebagaimana perkiraan sebelumnya, aksi ini hanya akan berputar-putar pada metode aksi yang tipikal. Rally, bernyanyi, orasi dengan awalan "hari ini,....bla bla", pembacaan tuntutan, serta "ancaman yang tidak mengancam" yang diawali dengan kata "kami akan kembali dengan jumlah lebih besar".

Sekitar setengah jam, barisan Gerbang Revolusi telah sampai di depan Kantor Gubernur Sulawesi Selatan. Titik aksi yang telah disepakati. Dengan mengusung isu pendidikan di bawah rezim SBY-Boedione, para petugas aksi terus menerus menggelar orasi yang mengecam pemerintah dan kapitalisme.

Ritualnya seperti biasa, orasi bergiliran. Jaringan Libertarian pun kebagian jatah. Seorang dari kami pun maju untuk memberikan agitasi pada peserta. Tetapi, tidak sebagaimana mayoritas kelompok yang bergabung dalam front ini, kawan dari JL berorasi dengan tidak memberi tempat bagi sebuah pemerintahan dan negara sebagai pihak yang patut diberi harapan untuk membuat kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Tidak ada perbaikan dalam sebuah kondisi terkontrol. Kapitalisme tidak mungkin direformasi!

* * *

Aksi telah mencapai klimaksnya. Pimpinan aksi memanggil masing-masing korlap untuk memutuskan langkah apa yang akan diambil sebelum mengakhiri 'acara' ini. Dan pertemuan di titik aksi tersebut memutuskan untuk membenturkan massa aksi dengan petugas/aparat, untuk menciptakan sebuah angle berita yang menarik -sebagaimana kesukaan para jurnalis industri media.

Kami tidak mengetahui, sejauh mana massa aksi mengetahui rencana tersebut. Bagaimana keputusan tersebut diambil dan dipertimbangkan. Meskipun hal tersebut adalah variasi yang jitu (dari beberapa aksi yang digelar hari itu, hanya aksi Gerbang Revolusi yang mendapatkan porsi pemberitaan yang lumayan di media massa), namun pada tingkatan peserta aksi ini tidak memberikan loncatan kemajuan.

Dan benar saja. Sesaat sebelum aksi cium-ciuman dengan aparat tersebut dimulai, masih banyak peserta aksi yang selonjoran di bawah papan iklan yang adem, di bawah pohon yang agak jauh dari pintu tempat berkumpul, serta di sekitar penjual es putar. Terlihat error yang menganga dalam aksi-aksi kecil macam ini.

Setelah merasa siap, benturan pun segera dimulai. Koordinator aksi menyerukan untuk maju, merapat ke arah pintu pagar kantor yang sedari tadi ditutup. Aparat terlihat sigap merespon. Beberapa dari mereka memukul-mukulkan pentungan ke perisainya, sebagai upaya menggertak peserta aksi. Tetapi sesuai dengan skenario awal, hal ini sekedar menciptakan sebuah tayangan, yang tidak akan pernah benar-benar untuk menjadi bentrokan.

Sejauh yang kami tahu, tidak ada orang saat itu yang benar-benar berhasrat akan momen-momen konfrontatif seperti itu. Terus terang, kami pun begitu. Untuk apa? Gagah-gagahan, kepentingan industri media, atau memang pilihan metodologis?

Meski beberapa dari kami memang sepakat dengan jalur-jalur konfrontatif, perusakan properti, dan apa yang seringkali dipelintir sebagai aksi kekerasan, tapi kali ini momen tersebut tak memberikan kami ketertarikan...

Akhirnya, massa yang sebelumnya cair berhasil disolidkan lagi.

Insting para wartawan yang sedaritadi menunggu momen tersebut memang tepat. Tanpa komando, mereka meringsek ke depan. Lebih depan dari polisi yang belum juga maju menghalau peserta aksi. Segala jenis kamera diklik berkali-kali, dan kamera video merekam tanpa henti. Barisan Gerbang Revolusi telah merapat ke pintu pagar. Petugas langsung maju, dan terjadilah keributan tersebut.

Tak ada yang luar biasa dalam momen tersebut kecuali peserta aksi yang terlihat canggung. Pertama, ada dua orang peserta aksi yang kemudian langsung berdiri menghadang laju massa aksi. Konyol. Siapa yang menyuruhnya berada di barisan aparat? Seorang kawan yang sangat semangat untuk menerobos, lantas menjadi sasaran birokrasi aksi itu. Ia kena marah dari seseorang yang entah dari mana dan atas dasar apa ia menghalangi peserta aksi.

Emosi seorang kawan tersebut lantas membuncah. Ia merebut megaphone dari seorang korlap di dekatnya. "Hey, kau! Tidak usah belagak pahlawan disitu! Pindah sana! Apa hakmu marah-marah, dan berdiri di barisan polisi!"

Perhatian sempat tersita ke sumber suara tersebut. Saya tidak berusaha menenangkan kawan saya tersebut. Saya hanya tertawa melihat aktivis yang diumpatinya tersebut, yang lantas menghentikan aksinya menghalau peserta aksi lain, dalam adegan tersebut. Kawan saya masih emosi. Saya menariknya ke belakang. Jengah rasanya, melihat masih ada juga aktivis bermental heroisme dangkal macam itu. Apa yang ada di pikirannya yang kemudian membuatnya tampil menghalangi massa mendekat ke arah pagar, menendang-nendang pintu dan berteriak memaki polisi?

Kekonyolan kedua, datang dari mayoritas peserta aksi yang kemudian serempak tunggang langgang melihat kejadian mengejutkan itu. Bisa dimaklumi, hampir seluruhnya adalah mereka para mahasiswa baru, yang dimobilisasi oleh pejabat BEM-nya masing-masing. Ini kemudian membuat kesimpulan datar, bahwa mayoritas peserta aksi tidak siap dengan kejadian tersebut, seandainya polisi benar-benar berniat untuk menangkapi para demonstran.

Beberapa orang dengan sigap memanggil kembali peserta aksi yang kocar-kacir, menahannya dan menenangkan untuk tidak perlu lari dan takut akan kejutan-kejutan tersebut. Bukan karena sok berani, tetapi dengan melihat tipologi aksi dan respon polisi, benturan tersebut tidak akan bertransformasi menjadi bentrokan luas, dimana polisi berniat untuk menangkap demosntran.

Karena merasa betul-betul jenuh dengan model tipikal tersebut, kami telah berada di lapisan terakhir. Menunggu barisan aksi berbalik dan membubarkan diri. Kawan-kawan hanya tersenyum melihat ending aksi ini. Seperti dugaan semalam.

* * *

Aksi ini mengangkat isu pendidikan, komersialisasi dan BHP. Nampaknya tidak ada upaya lebih serius untuk mempertimbangkan bagaimana aksi ini lebih bisa bertransformasi secara luas di tingkatan masyarakat. Perhatian mungkin lebih banyak pada bagaimana pada saat aksi. Bukannya mencakup bagaimana paska aksi, dampak yang ditimbulkannya, apabila aksi cium-ciuman dengan polisi hanyalah sekedar pemantik angle di pemberitaan media.

Misalnya selebaran/flyer dengan narasi kaku, datar dan desain yang tidak menarik, dengan jumlah yang minimal, tidak akan berhasil menjangkau masyarakat, apabila aksi ini menargetkan sebagai aksi kampanye belaka (dan memang).

Sementara itu, sebagaimana yang mengawal reportase ini, redefinisi tentang kolonialisme dan imperialisme (hal yang menstimulasi momen yang direspon ini, sumpah pemuda) bukan menjadi agenda yang penting bagi sebagian besar mereka yang bergabung dalam Gerbang Revolusi ini.

Imperialisme hari ini jelas berbeda dengan 50 atau 100 tahun lalu. Kita juga tidak sedang dijajah oleh bangsa asing saja sebagai entitas. Tetapi di berbagai level dan ranah, selalu ada rantai dan jejaring kapital yang menghisap, mengeksploitasi dan mengalienasi. Bukan sekedar ekonomi-politik saja.

* * *

Bagi kami, keterlibatan dalam front aksi ini adalah keinginan serius untuk menjalin sebuah komunikasi serius dan intens dengan kelompok-kelompok lain di gerakan lokal. Keinginan serius untuk mendiskusikan siapa musuh kita, bagaimana mereka beroperasi, bagaimana taktik dan strategi kita melawannya, dan langkah konkret apa yang mesti diambil.

Namun nampaknya, keinginan ini terhalangi dengan watak-watak para aktivis yang melulu menyandarkan metode pada demonstrasi (damai).Belum lagi dikotomi antara teori-praktek, diskusi-aksi yang masih bercokol di kepala para aktivis. Hingga watak otoritarian yang kental.

Bagi kami, momen revolusi (berhubung label front ini sarat dengan pakem-pakem revolusioner) adalah momen yang melibatkan masyarakat secara luas untuk berpartisipasi secara aktif dalam mengambil peran penghancuran tatanan ini. Bukan oleh segelintir elit gerakan yang memobilisir massa, bagai domba yang digembalakan.

Oleh karenanya, kawan-kawan di Jaringan Libertarian mesti membangun jaringan kerja yang melampaui semua itu. Itulah pilihan satu-satunya yang tersisa.

0 komentar:

Posting Komentar